Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengkritik proyek food estate yang digarap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Walhi menilai proyek lumbung pangan itu gagal karena merusak lingkungan hingga menganaktirikan petani lokal.
Walhi juga menyoroti rencana pemerintah garap food estate baru di NTT, Papua, hingga Sumatera Selatan. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menganggap food estate tersebut sebenarnya satu paket dengan yang sudah ada di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah.
Uli mengatakan program food estate di NTT gagal karena tidak melibatkan rakyat. Menurutnya, pemerintah tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk garap proyek ini.
“(pemerintah) Tidak punya pengetahuan soal baca situasi tanah bagaimana, membaca tanda-tanda alam bagaimana. Di NTT tadi sebenarnya juga melengkapi kegagalan negara untuk membaca apa yang jadi kebutuhan membangun pangan dan bagaimana situasi kesesuaian tempat food estate dibangun. Itu melengkapi fakta-fakta di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara,” kata Uli yang dilansir dari kumparan, Jumat (9/2).
Terlebih, menurutnya, rencana pemerintah untuk menggaet investor masuk dalam food estate baru ini semakin membuat petani lokal tersingkir.
“Artinya ini semakin akan membuat petani tersingkir, bukan hanya keterpisahan mereka dengan tanah tapi mematikan pengetauan dan pengalaman masyarakat adat dan lokal, yang di sana sebenarnya sejak mereka lahir turun temurun pengetahuan menggarap dan mengolah tanah sudah diajarkan,” pungkas dia.
Walhi Sebut food Estate di Papua Jadi Siasat Pemerintah Jual Kayu
Walhi juga memandang rencana proyek lumbung pangan di Papua yang akan ditanam tebu sebagai siasat untuk membabat hutan demi menjual kayu. Hal ini dikarenakan tidak ada garansi bahwa pembangunan proyek food estate dibuat tanpa proses penggundulan hutan.
“Di Papua sebenarnya beberapa tahun lalu, teman-teman Walhi Papua melihat, mencurigai, menduga praktik pembangunan food estate di Papua sebenarnya bukan untuk membangun pangan, tapi hanya untuk mengambil sumber daya kayunya saja,” kata Uli.
“Jadi ada praktik pencurian kayu yang terlegitimasi melalui rencana program food estate,” tambahnya.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Food Estate, food estate didefinisikan sebagai usaha pangan skala luas yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam melalui upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya.
Tujuannya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu kawasan hutan.
Beleid tersebut mengatur pemanfaatan kawasan hutan untuk digunakan sebagai sumber ketahanan pangan. Faktor ini yang sering menuai pro dan kontra karena food estate dianggap merusak alam dengan membuka lahan baru.
“Jadi enggak ada jaminan tidak membabat hutan. Apalagi kemudian peraturan menterinya sudah ada, bagaimana lokasi hutan membangun food estate itu permen yang diterbitkan KLHK,” ujar Uli.
Eksplorasi konten lain dari JURNAL KOTA
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.