Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan II Tahun 2024-2025, yang digelar pada Kamis (20/3) di Gedung Parlemen, Jakarta.
Rapat tersebut dihadiri oleh seluruh pimpinan DPR, dengan jumlah anggota yang hadir sebanyak 304 orang serta dihadiri oleh seluruh fraksi. Dari unsur pemerintah, turut hadir Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Proses Pengesahan Revisi UU TNI
Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, dalam laporannya memaparkan hasil pembahasan terkait revisi UU TNI, termasuk pasal-pasal yang mengalami perubahan. Usulan tersebut kemudian diterima oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang bertindak sebagai pimpinan rapat paripurna.
“Rapat paripurna merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR RI. Maka kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap usulan penyempurnaan rumusan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanya Puan dalam sidang.
Seluruh peserta rapat pun menyatakan persetujuan yang kemudian diikuti dengan ketukan palu sidang oleh Wakil Ketua DPR, Lodewijk Freidrich Paulus, sebagai tanda pengambilan keputusan.
Puan kembali mengonfirmasi kepada seluruh fraksi mengenai kesepakatan final untuk menjadikan RUU TNI ini sebagai Undang-Undang.
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanyanya.
Dengan suara bulat, seluruh peserta menyatakan persetujuan, sehingga revisi UU TNI resmi disahkan.
Prinsip Supremasi Sipil dalam Revisi UU TNI
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan bahwa revisi UU TNI tetap berlandaskan pada prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
“DPR bersama Pemerintah menegaskan bahwa perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tetap berlandaskan pada nilai demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah disahkan,” ujarnya.
Menurut Puan, revisi UU TNI berfokus pada tiga substansi utama, yakni:
-
Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
-
Pasal 7 mengalami perubahan dengan penambahan dua tugas pokok dalam OMSP, yakni:
-
Menanggulangi ancaman pertahanan siber
-
Melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri
-
-
Dengan perubahan ini, jumlah tugas pokok TNI dalam OMSP bertambah dari 14 menjadi 16 tugas pokok.
-
-
Penempatan Prajurit TNI Aktif di Kementerian/Lembaga
-
Pasal 47 mengatur bahwa jumlah posisi yang dapat ditempati prajurit aktif di kementerian dan lembaga (K/L) bertambah dari 10 menjadi 14 posisi jabatan.
-
Penempatan ini dilakukan berdasarkan permintaan pimpinan K/L dan tetap tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku.
-
Selain itu, prajurit TNI juga dapat menduduki jabatan sipil di luar 14 posisi yang telah ditetapkan, namun dengan syarat harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
-
-
Perpanjangan Masa Dinas Prajurit
-
DPR dan Pemerintah menyepakati perubahan batas usia pensiun prajurit, yang sebelumnya:
-
58 tahun bagi Perwira
-
53 tahun bagi Bintara dan Tamtama
-
-
Dalam revisi UU, batas usia ini diperpanjang sesuai dengan jenjang kepangkatan masing-masing prajurit.
-
Penegasan DPR: Tidak Ada Dwifungsi TNI
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menekankan bahwa supremasi sipil tetap menjadi prinsip utama dalam revisi UU TNI ini.
“Kami telah berdialog dengan Koalisi Masyarakat Sipil dan sepakat bahwa dalam revisi UU TNI ini tidak ada pengembalian dwifungsi TNI,” tegas Dasco.
Ia juga menegaskan bahwa dalam seluruh pasal yang dibahas, tidak ada indikasi peran ganda militer dalam pemerintahan sipil.
Menhan: Revisi UU TNI Disusun dengan Strategi Pertahanan yang Realistis
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, menyampaikan bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk membangun strategi pertahanan yang lebih realistis dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
“TNI adalah Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional, dan Tentara Profesional. Namun, dengan perubahan geopolitik dan perkembangan teknologi militer global, TNI harus bertransformasi,” ungkapnya.
Sjafrie juga menegaskan bahwa revisi UU ini tetap menjunjung jati diri TNI serta memastikan bahwa tidak ada dwifungsi TNI di Indonesia.
“Jangankan jasad, arwah dari dwifungsi TNI pun sudah tidak ada lagi di Indonesia,” tegasnya.
Selain itu, ia memastikan bahwa revisi UU TNI ini tidak mencantumkan aturan wajib militer bagi warga sipil.
“Tidak ada wajib militer di Indonesia. Pasal yang ada hanya mengatur perwira Akademi Militer, perwira karier, serta Komponen Cadangan (Komcad),” kata Sjafrie.
Ia menambahkan bahwa dengan adanya revisi ini, TNI dapat semakin bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara.
“Kami tidak akan pernah mengecewakan rakyat Indonesia dalam menjaga kedaulatan negara,” pungkasnya.
Dinamika Publik terhadap RUU TNI
Menanggapi adanya sebagian masyarakat yang belum menerima revisi UU TNI, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menilai hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang wajar.
“Dalam politik dan demokrasi, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Namun, kami telah melakukan upaya maksimal dengan menjalin komunikasi intensif dengan berbagai elemen masyarakat,” ujarnya.
Dasco menjelaskan bahwa DPR telah berdiskusi dengan kelompok mahasiswa, NGO, serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk menyerap aspirasi dan memastikan bahwa revisi ini tetap berpihak kepada kepentingan nasional.