Delapan bulan sudah KPK tak berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Padahal, cara ini dahulu menjadi andalan lembaga antirasuah.
Terakhir kali KPK berhasil melakukan OTT adalah pada Januari 2024. Ada dua kasus yang saat itu di-OTT KPK.
Kasus pertama, pada 11 Januari. Saat itu, KPK menangkap Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga diduga terkait suap proyek pengadaan barang dan jasa.
Dalam kasusnya, Erik dijerat sebagai KPK karena diduga melakukan pengaturan proyek disertai penunjukan kontraktor yang akan dimenangkan secara sepihak. Pengaturan dimaksud disertai dengan pematokan fee untuk setiap proyek.
Dari perbuatan melanggar hukum itu, Erik diduga menerima hasil suap hingga Rp 1,7 miliar sepanjang tahun 2023-2024. Atas perbuatannya, Erik dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kasus kedua, pada 26 Januari. Saat itu, KPK melakukan OTT di Sidoarjo, Jawa Timur. KPK saat itu menangkap 10 orang.
Namun dalam OTT saat itu, KPK gagal menemukan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor alias Gus Muhdlor tak ditemukan. KPK gagal menangkapnya.
OTT tersebut hanya berujung penetapan tersangka terhadap Siska Wati seorang Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo.
Dia diduga terlibat kasus dugaan korupsi berupa pemotongan dana insentif ASN di Pemkab Sidoarjo atau dengan kata lain pungli. Nilainya hingga miliaran rupiah.
Belakangan, Gus Muhdlor baru dijerat tersangka pada Mei 2024 usai pemilu presiden 2024 rampung digelar. KPK mengakui bahwa OTT saat itu tidak sempurna.
“Perlu kami jelaskan bahwa, OTT ini tidak sempurna, OTT yang ini. OTT sekarang tidak sempurna. Tidak sempurna itu artinya tidak seluruh pejabat yang akan kita OTT itu berhasil kita bawa,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (7/5).
Dalam kasusnya, Gus Muhdlor diduga memotong dana insentif pajak daerah bagi pegawai di BPPD Kabupaten Sidoarjo. Potongan yang diberikan yakni 10 sampai 30 persen sesuai dengan besaran insentif yang diterima.
Gus Muhdlor melakukan itu dibantu oleh Ari Suryono selaku kepala BPPD Sidoarjo dan Siska Wati selaku Kasubag Umum BPPD Pemkab Sidoarjo. Ketiganya adalah tersangka dalam kasus ini.
Pada 2023, Gus Muhdlor dkk mengumpulkan pemotongan dana insentif sebesar Rp 2,7 miliar.
Setelah dua kasus itu, tidak ada lagi OTT yang dilakukan oleh KPK sampai 25 September 2024. Artinya sudah 8 bulan KPK tidak berhasil melakukan operasi senyap.
Mengapa kondisi ini terjadi?
Ketua IM57+ Institute yang juga merupakan mantan penyidik KPK Praswad Nugraha, menilai lembaga antirasuah yang jarang melakukan OTT karena adanya intervensi kekuasaan. Intervensi itu, menginginkan KPK tidak menggelar OTT lagi.
“Ada intervensi kekuasaan yang menginginkan KPK tidak OTT lagi. Siapa? Bisa kita cek di riwayat sikap menteri-menteri kabinet Jokowi, siapa yang sangat alergi dengan OTT,” kata Praswad saat dihubungi, Rabu (25/9).
Menurutnya, KPK terbukti sudah menjadi lembaga yang tidak independen lagi. KPK disebutnya tunduk kepada intervensi kekuasaan.
“Hilangnya OTT pada KPK menimbulkan ledakan perilaku korupsi di Indonesia, terbukti dari berbagai survei, termasuk survei Kompas, praktik korupsi semakin merajalela dan KPK semakin tergerus tingkat kepercayaan publiknya,” kata Praswad.
Merujuk survei Litbang Kompas, salah satu yang disorot adalah kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Saat itu, Litbang Kompas merilis hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 27 Mei-2 Juni 2024.
Hasilnya, TNI dan Polri mendapatkan citra publik tertinggi dengan nilai masing-masing 89,9% dan 73,1%. Sementara KPK ada di ‘dasar klasemen’ dengan hanya memperoleh nilai citra positif 56,1%.
“Jika hal ini terus menerus dibiarkan, sebentar lagi Indonesia akan menjadi surga para koruptor dan surganya pencucian uang di region Asia,” kata dia.
“Orkestrasi pelemahan KPK dari seluruh lini, mulai dari revisi UU 19 tahun 2019, masuknya para pimpinan yang tidak berintegritas, hilangnya independensi KPK dengan dimasukkannya ke ranah eksekutif, dikarenakan Presiden Joko Widodo selaku panglima pemberantasan korupsi tertinggi di Indonesia gagal menjalankan tugasnya,” pungkasnya.
Tren OTT KPK Menurun
Jumlah OTT KPK menurun pada tahun ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana trennya?
Berikut daftarnya:
2016: 17 OTT
2017: 19 OTT
2018: 30 OTT
2019: 21 OTT
2020: 7 OTT
2021: 7 OTT
2022: 10 OTT
Pada 2020, lembaga antirasuah melakukan tangkap tangan sebanyak 10 kali. Berikut daftarnya:
TPK (Tindak Pidana Korupsi) terkait pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemerintahan Kota Bekasi;
TPK kegiatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur tahun 2021-2022;
TPK suap terkait dengan kegiatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa tahun 2020 s/d 2022 di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara;
TPK suap pengurusan perkara di PN Surabaya Jawa Timur;
TPK suap pengurusan laporan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021;
TPK suap pengurusan perizinan di wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta;
TPK terkait jual beli jabatan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah;
TPK suap oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya terkait penerimaan calon mahasiswa baru pada Universitas Lampung tahun 2022;
TPK suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung;
TPK suap dalam pengelolaan dana hibah provinsi Jawa Timur.
2023: 8 OTT
Pada 2023, ada delapan kali OTT yang digelar oleh lembaga antirasuah. Berikut daftarnya:
Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, dkk
Direktur Prasarana Perkeretaapian, DJKA Kemenhub, Harno Trimadi, dkk
Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, dkk
Henri Alfiandi selaku Kepala Basarnas dkk
Pj Bupati Sorong Yan Piet Mossi dkk
Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso Puji Triasmoro
Kepala Satuan Kerja Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Kaltim Rahmat Fadja dkk
Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba dkk
Eksplorasi konten lain dari JURNAL KOTA - Komite Pewarta Independen (KoPI)
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.