Terpidana Korupsi Gugat UU Tipikor ke MK, Minta Pasal Rugikan Negara Dihapus

Kuasa Hukum Pemohon, Annisa E F Ismail menyampaikan perbaikan permohonannya pada sidang panel pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Ruang Sidang MK, Jakarta, Senin (28/10/2024). Foto: Mahkamah Konstitusi RI

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini dilayangkan tiga pemohon yang merupakan terpidana kasus korupsi. Mereka menguji Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Mereka memohon kepada MK agar ada syarat bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan sanksi pidana/denda dalam ketentuan norma yang diuji tersebut.

Ketiga pemohon tersebut adalah:

Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (2016-2017) Syahril Japarin (Pemohon I);

Mantan Pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari (Pemohon II); serta

Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (Pemohon III).

“Dalam permohonan ini, kami tetap memohon agar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor ini untuk dibatalkan,” kata kuasa hukum para pemohon Annisa E F Ismail dalam sidang perbaikan permohonan pada Senin (28/10) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, dikutip dari laman MK.

Pengacara kondang Maqdir Ismail turut menjadi kuasa hukum para pemohon.

Annisa mengatakan, sekiranya Mahkamah tetap menganggap kedua pasal ini dianggap penting, maka pihaknya mendalilkan agar ada syarat bagi tersangka atau terdakwa dapat dikenakan pasal tersebut.

Syarat tersebut yakni ‘dengan adanya suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan atau penerimaan gratifikasi.’

“Ini mengikuti apa yang dinyatakan dalam Undang-Undang Tipikor. Kita juga bisa menggunakan ketentuan dalam UNCAC yang sudah diratifikasi juga di Indonesia,” ujarnya.

Pemohon yang meminta dibatalkan atau dinyatakan tidak mengikat menurut hukum Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, menyebut bukan berarti menghalalkan perbuatan korupsi.

Terlebih, kata Annisa, dalam UU Tipikor perbuatan bersifat melawan hukum dan bersifat jahat atau mengandung kejahatan, seperti suap menyuap, perbuatan curang dalam pengadaan barang dan jasa, karena ada penggelapan, pemerasan yang dilakukan oleh penyelenggara negara seperti juga dinyatakan dalam United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC) adalah merupakan perbuatan korupsi yang telah diakomodasi dalam Pasal 5 sampai Pasal 13 UU Tipikor.

Dia menjelaskan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dikenakan kepada seseorang yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Namun, kata para pemohon, pemberantasan korupsi seharusnya lebih banyak diarahkan ke pemberantasan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan juga penerimaan gratifikasi.

Hal tersebut karena daya rusak dari semua perbuatan tersebut melebihi daya rusak akibat dari kerugian keuangan negara. Annisa mengatakan kerugian keuangan negara mungkin hanya berakibat pada keadaan perekonomian sesaat, tetapi kerusakan yang hadir akibat adanya suap-menyuap atau penyalahgunaan jabatan dampaknya tidak hilang dalam satu generasi.

“Andai kata benar bahwa kekhawatiran kerugian kewenangan negara tidak dapat dituntut akibat dibatalkannya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, atau karena pasal-pasal tersebut diberikan syarat, itu merupakan menurut kami adalah kekhawatiran yang cukup keliru,” ujarnya.

“Dalam hal kerugian perseroan misalnya, kerugian tersebut masih dapat dituntut berdasarkan ketentuan Undang-Undang PT atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Keduanya dapat dijadikan ukuran untuk menilai sebab terjadinya kerugian dan juga untuk menilai tanggung jawab direksi terhadap kerugian tersebut,” jelas Annisa.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk Menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun, apabila tetap dinyatakan mengikat, setidaknya mahkamah menyatakan perubahan terhadap sejumlah frasa, yakni:

“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi sebagaimana dinyatakan dalam UU Tipikor,” atau “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan penyuapan,” atau “memperkaya diri secara langsung atau tidak langsung dan orang lain atau suatu korporasi”;

Menyatakan frasa “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi sebagaimana dinyatakan dalam UU Tipikor”, atau “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan penyuapan” atau “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri secara langsung atau tidak langsung, dan orang lain, atau suatu korporasi.”

Menyatakan frasa “yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Siapa para pemohon?

Pemohon I merupakan terpidana kasus korupsi yang diusut oleh Kejagung. Dia dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU PTPK jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam kapasitas sebagai Direktur Utama Perum Perindo masa jabatan 16 Januari 2016 sampai dengan 17 Desember 2017. Dia sudah dihukum 10 tahun penjara di tingkat kasasi.

Sementara Pemohon II pada 2012 dalam kapasitasnya sebagai Ketua/Koordinator (Team Leader) Tim Penanganan Isu-isu Sosial/Lingkungan atau Environmental Issues Settlement Team (EIST) SLS Minas PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Dia telah didakwa di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat terkait dengan pengelolaan limbah di PT CPI Wilayah Operasi Sumatera Light South (SLS) Minas Kecamatan Minas Kabupaten Siak Provinsi Riau. Dia telah divonis penjara.

Pemohon III adalah Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara yang pernah didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) UU PTPK atau dakwaan subsidair Pasal 3 UU PTPK, terkait dengan perusakan lingkungan sebagi akibat memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (TUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Dia juga melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,7 miliar serta memperkaya korporasi yaitu PT Billy Indonesia sekitar Rp 1,5 triliun yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,3 triliun atau setidak-tidaknya sebesar Rp 1,5 triliun. Dia telah divonis 12 tahun penjara.


Eksplorasi konten lain dari JURNAL KOTA

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan