JurnalKota – Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti meminta dukungan seluruh komponen bangsa untuk berjuang all out mengembalikan UUD 45 kepada naskah asli, untuk kemudian disempurnakan melalui amendemen dengan teknik adendum.
Hal itu disampaikan La Nyalla dalam Seminar yang digelar Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia (FDCI) yang mengusung tema; Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Rumusan Pendiri Bangsa, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, (26/9).
Dalam memperjuangkan ini, La Nyalla mengaku tak mau mengorbankan siapa pun. Termasuk jika harus sampai terjadi keributan. Akan tetapi, La Nyalla menginginkan agar semangat mengembalikan UUD 45 ke naskah asli diperjuangkan dengan cara santun dan baik.
“Saya perlu dukungan dari rakyat, termasuk Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia di sini. Saya tidak ingin mengorbankan siapa saja. Saya tidak ingin ada keributan di negara kita, kita ingin mengembalikan dengan cara yang santun dengan baik, kemudian semua legowo, tanpa ada keributan,” kata La Nyalla.
Ditambahkan, semua pihak harus menggunakan akal, pikir, dan zikir dalam memperjuangkan itu semua. Dia tidak ingin peristiwa 1998 terulang. Apalagi sampai ada korban. Dia berharap proses ini terjadi atas kesadaran kolektif bangsa, bahwa sistem hari ini ada yang salah. Kesadaran itu harus lahir sebagai legacy dari orang-orang yang berpikiran waras dan jernih.
“Kapan kita jalan? Kapan kita mulai, ini sudah salat asar, sebentar lagi magrib. Pada saat magrib itulah, kita kembalikan Undang-Undang Dasar 45 sesuai naskah asli, untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar. Bukan dengan mengganti sistem bernegara ala Barat seperti sekarang. Tapi harus benar-benar berazaskan Pancasila,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, La Nyalla berharap pada masyarakat untuk tidak menyalahkan Presiden Jokowi, terutama pada pihak-pihak yang membencinya atas sistem kenegaraan amburadul yang berjalan saat ini. Sebab, hal yang patut disoroti, kata dia, adalah konstitusi saat ini, di mana Jokowi dianggap hanya sekadar menjalankannya.
“Siapa pun presidennya harus taat pada konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Persoalannya konstitusi kita sejak reformasi telah dibajak menjadi konstitusi yang individualis, liberal, dan kapitalistik. Dan pilpres langsung serta dominasi partai politik semakin membuat bangsa ini kehilangan jati diri aslinya. Kita sudah menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa,” bebernya.
La Nyalla lalu mengatakan, ke depan dirinya berharap dengan kesadaran kolektif rakyat, akan dapat melakukan pemaksaan agar MPR melakukan sidang istimewa dengan agenda tunggal, mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan naskah asli, untuk kemudian dilakukan amendemen ulang dengan teknik yang benar, yaitu teknik adendum, tanpa mengganti sistem bernegara.
“Jadi nanti pada saatnya nanti, kita bersama-sama akan datang ke MPR. Kita paksa MPR untuk melaksanakan hal tersebut, jadi kita enggak usah demo-demo kecil, capek. Nanti pada saatnya, saya akan sampaikan pada Bapak Ibu, mari kita kumpul (ke MPR),” kata La Nyalla.
Dalam kesempatan itu, La Nyalla juga menyindir para doktor dan cendekiawan, di mana para pengamendemen konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam, juga banyak yang bergelar doktor. Bahkan, sampai hari ini masih ada kalangan akademisi yang juga bergelar doktor menganggap konstitusi saat ini, yang mengadopsi sistem Barat, sebagai sistem terbaik untuk mewujudkan demokrasi.
“Saya tidak tahu, siapa yang memberi hak mereka merasa sebagai the second founding father bangsa ini. Padahal jelas, para pendiri bangsa sudah tuntas mendiskusikan semua sistem, baik Barat maupun Timur. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa sistem yang paling sesuai untuk negara super majemuk dan kepulauan yang jarak bentangnya sepanjang beberapa negara di Eropa, adalah sistem sendiri, yaitu demokrasi yang berazas Pancasila. Bukan sistem Barat,” ujarnya.
La Nyalla juga memaparkan tentang Lima Proposal Kenegaraan yang ditawarkan DPD RI sebagai bagian dari penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa. Di mana di antaranya adalah hadirnya kembali utusan daerah dan utusan golongan di MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sementara DPR tidak hanya diisi representasi dari partai politik, tetapi juga diisi peserta pemilu dari perseorangan yang berbasis provinsi, seperti yang sekarang berada di kamar DPD RI.
Gagasan tersebut menurutnya bukan hal baru. Sebab dunia internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 negara di eropa dan yang terbaru adalah Afrika Selatan.
“Hal itu sangat penting agar undang-undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative,” imbuhnya
Karena faktanya di Indonesia, lanjut La Nyalla, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi arahan ketua umum partai. Sehingga sangat tidak adil bila 275 juta penduduk Indonesia menyerahkan kepatuhan hukum atas undang-undang yang dibentuk atas arahan ketua umum partai yang mempunyai anggota di DPR.
“Itulah mengapa anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis provinsi secara merata, harus berada di dalam kamar DPR RI sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote,” pungkasnya.
Eksplorasi konten lain dari Jurnal Kota - Komite Pewarta Independen (KoPI)
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.