JurnalKota – Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memasangkan Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden (capres-cawapres).
Keputusan Surya Paloh menduetkan Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dianggap telah memporak-porandakan formasi politik menjelang Pilpres 2024.
“Pasangan Anies dan Imin merupakan kejutan politik yang porak-porandakan skema formasi koalisi politik. NasDem dan PKB sudah cukup memenuhi persyaratan 20 persen ambang batas untuk mengikuti kontestasi pilpres,” kata analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting di Jakarta, Jumat (1/9).
Menurut Ginting, dengan skema formasi Anies berpasangan dengan Cak Imin, maka otomatis PKB akan keluar dari poros pendukung Prabowo Subianto. Di sisi lain, akan terjadi gejolak politik yang besar di Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP).
“Bagaimana Nasib Partai Demokrat dan PKS? Apakah akan tetap berada dalam koalisi mendukung Anies Baswedan atau berpindah haluan? Kita tunggu saja bagaimana keputusan majelis tinggi Demokrat dan Majelis Syuro PKS,” ujarnya.
Posisi Lemah
Dikemukakan, pertarungan politik di dalam Koalisi Perubahan memang cukup keras, terutama antara NasDem dengan Demokrat. NasDem sejak awal lebih menginginkan bakal cawapres Anies berasal dari kubu Nadhdliyin. Di sisi lain, Demokrat menginginkan Ketua Umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bakal cawapresnya.
“Sejak awal Anies memang disokong dan dideklarasikan NasDem. Setelah itu, Demokrat dan PKS ikut mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres. Karena itulah Demokrat berharap posisi bakal cawapres adalah AHY. Sementara PKS sudah bersedia untuk tidak menempatkan kadernya sebagai bakal cawapres,” ungkap Ginting.
Menurutnya, jika Demokrat maupun PKS tidak setuju dengan keputusan sepihak NasDem, kedua partai politik itu dalam posisi tawar yang lemah. Demokrat dan PKS tidak cukup untuk bisa berkoalisi mengusung capres dan cawapres. Mereka harus bergabung dengan koalisi yang ada, mendukung Poros Anies, Poros Ganjar atau Poros Prabowo.
“Dengan telah diumumkannya pasangan Anies dan Muhaimin, maka inilah pasangan pertama yang bisa maju dalam pilpres,” kata Ginting.
Tidak Nyaman
Dikemukakan Ginting, sejak awal PKB berpotensi keluar dari poros pendukung Prabowo Subianto dan masuk ke poros pendukung bakal capres Anies Baswedan.
“PKB sudah merasa tidak nyaman, karena merasa tidak akan diberikan posisi sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi bakal calon presiden (capres) Prabowo,” kata Ginting.
Bahkan, kata Ginting, Cak Imin sudah pada fase frustrasi politik. Ia merasa sudah tidak bisa lagi melakukan penetrasi politiknya di poros Prabowo. Terutama setelah Prabowo mengganti nama dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Hal ini setelah masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar masuk dalam poros Prabowo.
“Imin tampaknya sudah frustrasi berat, sebab PKB dan Gerindra yang sejak awal membangun poros KKIR. Jawaban frustrasi itu kemungkinan besar, PKB akan hengkang dari poros pendukung Prabowo dan bergabung ke poros Anies Baswedan,” ungkapnya.
Dalam poros pendukung Prabowo, lanjut Ginting, baik PKB, PAN, maupun Golkar sama-sama menginginkan posisi bakal cawapres. PKB menginginkan Cak Imin. PAN mengusulkan Erick Thohir, dan Golkar menyorongkan Ketua Umumnya Airlangga Hartarto.
Muncul juga alternatif seperti Ridwan Kamil dan putra Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka, sambil menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi, terkait uji materi persyaratan usia mengikuti pemilihan presiden/wakil presiden.
Eksplorasi konten lain dari JURNAL KOTA
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.