Malam itu, senyum semringah terpancar jelas dari wajah Roni Ahmadi (29 tahun), seorang sopir lintas Sumatera. Di sebelahnya, ada tronton berisi buah dan sayur yang jadi teman perjalanannya.
Sopir Jalinsum. Begitu biasanya orang seperti Roni disebut oleh warga lokal Sumatera Utara. Seorang pejuang jalanan di Jalan Lintas Sumatera.
Saat ditemui, Roni tengah melihat ratusan keranjang jeruk dan kentangnya sudah tersusun rapi di atas tronton hijaunya dengan raut bahagia.
Sudah 6 tahun menjadi sopir bongkar muat Medan-Jakarta, baru setelah Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) beroperasi, ia merasa bisa bekerja dengan tenang.
Melewati jalur yang mulus membuatnya tak lagi khawatir risiko sayuran dan buahnya rusak di tengah perjalanan.
“Kalau dulu, kami menempuh perjalanan itu sekitar 4 hari 4 malam, sekarang (dengan tol) bisa sampai 3 hari 3 malam saja,” kata Roni saat ditemui wartawan di rumahnya di Kabupaten Karo, Sumut, pada Minggu (18/2).
Bila sedang bertugas, Roni melewati beberapa ruas JTTS. Misal saat menuju Tebing Tinggi dari Kota Medan.
“Nah, pertama kami itu dari Karo ke Medan, masuk ke Tol Amplas ke Tebing Tinggi, terus ke jalan umum kan, baru nyampe Tol Riau dari Dumai ke Pekanbaru,” katanya.
“Terus dari Palembang ke Bakauheni kan, Lampung,” sambung Roni.
Ibarat anak sendiri, buah dan sayur yang diangkut menjadi tanggung jawab Roni, bukan lagi bosnya. Ketika tronton mulai berjalan sampai tujuan di Jakarta, selamat atau tidaknya, ia yang menanggung.
Lewat tol adalah pilihan bijak. Sebab, bila tidak, ada risiko yang harus siap ditanggung.
Misalnya ketika salah memilih jalan, membuat waktu tempuhnya lebih lama. Dalam kondisi ini, bila bawaannya busuk, Roni harus siap mengganti.
“Kalau busuk tentu enggak kami yang ganti rugi ya (kalau jalanan normal), tapi kalau salah jalan iya, ada lagi namanya rak patah, itu kan sebenarnya kemungkinannya kecil. Tapi bisa terjadi kalau kami ugal-ugalan atau memilih jalan yang salah,” sambung dia.
Baginya, adanya JTTS menjadi berkah tersendiri. Sebab, bila waktu tempuh lebih singkat, dia tak perlu khawatir gajinya terpotong mengganti rugi sayur dan buah-buahan yang rusak.
“Kalau waktunya lebih cepat, risiko busuk pasti lebih kecil. Kami juga harus tanggung jawab dengan bos kami dalam pengantaran. Lainnya misal, kalau 4 hari, itu risiko penyusun rak keranjang patah lebih besar,” ceritanya.
“Kalau jeruk rusak, kami sebagai sopir harus ganti rugi,” kata dia.
Sambil menyeruput tehnya dari cangkir, Roni juga bercerita soal risiko keselamatan barang serta sopir selama perjalanan. Seperti harus berhadapan dengan bajing loncat (perampok di jalanan).
“Kami kan mulai perjalanan malam, nah dini hari kami bisa posisinya sudah di lahan sawit kalau enggak lewat tol. Itu risikonya besar, ada begal ada juga bajing loncat. Jadi, kalau dari segi keamanan kami pilih lewat jalan tol,” tuturnya di tengah suasana Karo yang sejuk.
Proyek strategis pemerintah
Sejak direncanakan pemerintah pada 2014, JTTS diproyeksikan menjadi jawaban bagi Roni dan banyak pihak lainnya. JTTS dinilai bisa menjadi solusi untuk mempermudah mobilitas, memangkas biaya produksi, hingga alternatif ke tempat wisata.
Presiden Jokowi belum lama ini meresmikan tol di Kabupaten Batu Bara, Sumut, yang dioperasikan oleh Hutama Karya—sang ujung tombak pembangunan JTTS. Ini merupakan salah satu bagian langkah pemerintah untuk memaksimalkan efisiensi biaya logistik sehingga dapat mendorong perekonomian.
“Meningkatkan konektivitas pariwisata Danau Toba kemudian juga meningkatkan kecepatan logistik ke Pelabuhan Kuala Tanjung dan berkaitan dengan KEK Sei Mangkei, diharapkan mempercepat waktu tempuh dan mendorong perekonomian sekitarnya,” kata Jokowi di Gerbang Tol Limapuluh, Batu Bara, Rabu (7/2).
Lantas, sejak kapan dan bagaimana awal proyek ini dicanangkan?
JTTS merupakan salah satu proyek strategis pemerintah Kabinet Indonesia Maju. Pembangunannya tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera.
JTSS terdiri dari 24 ruas dengan panjang sekitar 2.998 km yang terbentang dari Aceh hingga Lampung. Panjangnya akan terus berubah menyesuaikan dengan kondisi lahan di lapangan.
Di usianya yang ke-63, Hutama Karya mengingatkan kembali visi mereka membangun JTTS yang kini sudah berusia satu dekade. Semua demi konektivitas.
“(Visi kami adalah) menyukseskan mandat pemerintah untuk membangun dan mengoperasikan JTTS. Dengan pembangunan JTTS dapat mengurangi biaya logistik dan merangsang pertumbuhan industri di Indonesia yang menghubungkan Lampung hingga Aceh melalui 24 ruas jalan berbeda,” kata kata Direktur Utama Hutama Karya Budi Harto yang dilansir dari kumparan pada Selasa (20/2).
24 ruas JTTS ini terbagi menjadi 4 tahap. Terbagi menjadi backbone (jalan utama) dan feeder (jalan sirip). Untuk tahap I, saat ini progresnya sudah nyaris 100 persen.
“Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) akan terbangun sepanjang 2.998 Km. Tahap I telah mencapai 98 persen serta satu ruas JTTS tahap II yakni Rengat-Pekanbaru-Seksi Junction Pekanbaru-Bypass Pekanbaru sebesar 7 persen,” tuturnya.
Secara keseluruhan, JTTS tahap I ditargetkan selesai di tahun 2024. Sementara, tahap berikutnya akan disesuaikan dengan kebijakan pemerintah.
“JTTS Tahap I ditargetkan selesai pada tahun 2024, sedangkan untuk Tahap II sebagian telah mulai konstruksi dan sebagian dalam proses PPJT (Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol),” kata dia.
“Untuk JTTS Tahap III dan IV akan dilaksanakan keberlanjutannya sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),” sambungnya.
Dalam satu dekade pembangunan, JTTS sudah terbentang sepanjang 884,5 km. Sudah ada 15 ruas yang dioperasikan.
Lantas, tidak semuanya dikelola oleh Hutama Karya. Ada juga yang dikerjakan pihak lain, misalnya oleh Jasa Marga dan Indonesia Investment Authority (INA). Salah satu yang dikerjakan INA adalah Tol Binjai-Medan.
Dari data tersebut, belum semuanya memiliki tarif karena masih bersifat fungsional sehingga digratiskan. Berikut daftar tarif ruas JTTS yang dikelola Hutama Karya.
Sejak awal ditugaskan dalam pembangunan JTTS, Hutama Karya mendapatkan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) dari pemerintah sebesar Rp 112 triliun.
Oleh karena keberhasilan pembangunan dan pemasukannya, Hutama Karya kemudian menyumbang pajak ke negara dengan peningkatan 2 persen setiap tahunnya.
“Setoran pajak Hutama Karya dalam periode 5 tahun terakhir mengalami tren kenaikan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 2 persen per tahun. Sebelumnya sempat mengalami penurunan pada masa pandemi Covid-19, tapi telah tumbuh kembali pada tahun 2023 seiring dengan pemulihan pascapandemi Covid-19,” tegas Budi.
Membangun Perekonomian
Seperti koin, pembangunan selalu mempunyai dua sisi yang berbeda. Ada yang berpikir menguntungkan, ada juga yang memandang dari sudut lainnya.
Termasuk pembangunan JTTS, ada warga yang punya usaha di jalur lintas Sumatera biasa mempertanyakan:
“Apakah pembangunan tol ribuan km itu berdampak mematikan usaha kami?”
Hutama Karya menjawab. Budi memastikan kekhawatiran itu tak akan terjadi.
Menurutnya, justru dengan adanya JTTS, usaha masyarakat bisa lebih berkembang.
“Hutama Karya memastikan dengan hadirnya JTTS tidak akan mematikan aktivitas perekonomian yang ada di wilayah sekitar jalan tol, tetapi justru menciptakan pusat perekonomian baru yang lebih besar bagi masyarakat,” katanya.
Budi menegaskan, lahan UMKM yang dibangun di rest area JTTS besutan perusahaannya bahkan di atas target yang ditentukan oleh PP Nomor 17 Tahun 2023.
Dalam peraturan itu, targetnya hanya 30 persen. Namun di rest area JTTS yang dikelola Hutama Karya bahkan dua kali lipatnya.
Di Tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung (Terpeka) misalnya, sudah lebih dari 300 tenant UMKM jenis kuliner, kios top-up, pakaian, hingga penjual oleh-oleh mengisi 9 rest area di ruas tersebut.
“Hutama Karya saat ini memprioritaskan sekitar 70 persen di seluruh rest area yang dioperasikan dengan tawaran harga sewa yang jauh lebih murah dari harga komersil untuk memberikan peluang bisnis kepada masyarakat lokal setempat,” terangnya.
Asa Iwan untuk Lewat Trans Sumatera
Tol Tebing Tinggi Tinggi-Indrapura dan Tol Indrapura-Kisaran di Kabupaten Batu Bara, Sumut. Foto: Dok. Hutama Karya
Tol JTTS dibangun dengan niat mulia menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Dari sopir hingga UMKM pun jadi target.
Namun belum semua bisa merasakan nikmatnya mengarungi Sumatera via JTTS. Salah satunya Iwan Afrijal (18 tahun).
Pengalaman pahit sempat dirasakan Iwan saat mengantar kentang melintasi jalur lintas Sumatera non-tol.
Pemuda asal Berastagi itu tampak murung saat menceritakan kisahnya. Iwan kehilangan puluhan karung goni kentang yang sedianya ia kirim ke Malaysia karena ditodong bajing loncat.
Sama seperti Roni, saat di perjalanan, mobil dan seluruh isinya jadi tanggung jawab Iwan.
“Aku pernah jadi korban bajing loncat di sekitaran Kisaran. Di sana kentangnya dicuri bajing loncat 20 karung, kalau kek gitu kami harus ganti rugi 50 persen. 50 persen lagi diikhlaskan oleh bos kami,” ceritanya.
Saat itu, Iwan pun tak bisa berbuat banyak. Tangan kosongnya tak akan mampu melawan pria bersebo yang membawa senjata tajam.
“Terus mereka juga bawa parang. Kita tangan kosong, ya kek manalah,” kata dia.
Dengan sejumlah kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan JTTS, Iwan sang sopir Jalinsum berharap bila ke depannya dia bisa mendapatkan kemudahan mengaksesnya.
Sebab, selama ini biaya perjalanan yang diberikan oleh kantornya tak mencukupi untuk membayar tol.
Jadi, dia harus melewati jalanan gambut yang sulit untuk menempuh perjalanan dari Medan ke Pekanbaru untuk mengantarkan kentangnya.
“Sebenernya enggak begitu susah (melewati jalan umum) kalau kita tahu jalan. Bisa pilih jalan. Tapi yang sering terjadi, kami harus menerka-nerka jalan,” ujar Iwan.
“Aku pernah salah pilih jalan jadi ketemu jalan gambut. Mobilnya jadi terbalik,” sambungnya.
Asa Iwan pun muncul. Ia ingin bekerja dengan nyaman lewat JTTS.
“Kalau boleh kami sopir maunya kami diarahkan lewat tol. Lebih aman dari bajing, sampainya lebih cepat dan meminimalisir kerusakan sayuran yang kami bawa,” kata Iwan.
Asa Iwan senada dengan yang disampaikan Staf Khusus Bidang Komunikasi Kementerian Perhubungan Adita Irawati:
“Keberadaan JTTS tentu memberi dampak konektivitas yang lebih baik kepada masyarakat, khususnya yang melakukan mobilitas dari Jawa ke Sumatera maupun sebaliknya dan di dalam Sumatera sendiri,” kata Adita.
Eksplorasi konten lain dari JURNAL KOTA
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.